Ikuti Kami

Hubungi Kami

+62 858-5868-7035

Email Kami

kspmfebunud@gmail.com

Real Estate di China Merosot, Berimbas pada Bangkrutnya Raksasa Properti

Gambar 1: “Apartments as far as the eye can see”. Source: Bloomberg

            Pasar properti China menunjukkan penurunan pada harga-harga properti di tahun lalu, terburuk dalam setidaknya sembilan tahun terakhir. Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional (NBS), harga rumah baru pada bulan Desember 2023 mencatat kemerosotan paling tajam sejak Februari 2015 silam. Di samping itu, penjualan properti turun 23% pada bulan Desember dari tahun sebelumnya. Pada saat yang bersamaan, invetasi properti oleh developers di bulan Desember juga turut menyumbang kemerosotan paling cepat sejak tahun 2000. Secara keseluruhan, investasi properti turun sebesar 9,6%, hampir sama dengan penurunan di tahun 2022.

Awetnya penurunan pada sektor properti ini tampaknya menyumbang penurunan sekitar seperempat perekonomian China. Hal ini tentunya dapat menghambat pemulihan negara secara lebih luas dan memperparah tekanan yang dialami oleh para pembuat kebijakan untuk menyediakan bantuan baru. Pihak berwenang sudah berusaha untuk menopang sektor properti dengan berbagai cara, salah satunya dengan meningkatkan fasilitas pledged supplementary lending (PSL) dari bank sentral pada bulan Desember 2023 untuk membantu mendanai proyek-proyek properti dan infrastruktur.

Terlebih lagi, Beijing dan Shanghai sempat melonggarkan peraturan pembelian rumah pada pertengahan Desember 2023, termasuk dengan menurunkan batas minimum rasio down payment untuk pembelian rumah pertama dan kedua. Akan tetapi, ternyata usaha tersebut gagal untuk mendorong sentimen pembelian rumah yang sudah terlanjur merosot sejak 2021 lalu. Bahkan, dari 70 kota yang terdapat pada data Biro Statistik Nasional (NBS), dilaporkan sebanyak 62 di antaranya mengalami penurunan harga-harga rumah ditinjau secara per bulan, naik dari 59 pada bulan November 2023 (Reuters).

Penurunan pada sektor properti ini memperkecil ukuran pasar dalam sekejap. Pembangunan properti telah jatuh sebesar lebih dari 60% bahkan lebih besar dibandingkan dengan level sebelum pandemi, penurunan tercepat dalam sejarah lintas negara dalam tiga dekade terakhir. Terlebih lagi, penjualan juga turut merosot di tengah pertimbangan konsumen yang berasumsi bahwa developers memiliki pendanaan yang kurang untuk menyelesaikan proyek dan harga-harga akan menurun pada tahun-tahun berikutnya.

Krisis properti ini diperparah dengan adanya tekanan tambahan dari aspek demografi untuk tahun-tahun selanjutnya. Kebutuhan akan tempat tinggal baru diperkirakan akan berkurang seiring dengan menurunnya tingkat populasi dan urbanisasi. Subsidi pemerintah yang diberikan pada dekade sebelumnya telah membantu jutaan penduduk pindah ke tempat tinggal yang baru dari perumahan tua yang tidak dilengkapi fasilitas modern. Akan tetapi, permintaan untuk subsidi tersebut tampaknya akan terbatas karena penurunan penjualan dari properti dan tanah mengakibatkan ketatnya kendala fiskal pemerintah.

International Monetary Fund (IMF) memperkirakan investasi properti akan terus jatuh dan cenderung tetap melemah. Investasi real estat baru dalam jangka menengah diproyeksikan dengan beberapa scenario yang dijadikan sebagai dasar yang mencakup evolusi permintaan fundamental serta dampak dari persediaan yang berlebihan dan tekanan dari sisi penawanan lainnya. Pada scenarionya, IMF menunjukkan hasil analisisnya bahwa investasi properti akan menurun sebesar 30% hingga 60% di bawah level pada tahun 2022. Analisis tersebut sesuai dengan tingkat penurunan pembangunan properti di negara-negara lainnya dengan perlambatan yang cukup besar pada pemulaannya.

Gambar 2: Proyeksi penurunan dan kenaikan permintaan fundamental pada properti

Sumber: Perhitungan CEIC dan staff IMF

           Krisis properti di China ternyata dilatarbelakangi oleh suatu kondisi di masa lalu yang turut menyumbang dampak di masa ini. Kondisi tersebut bermula dari liberalisasi ekonomi China yang terjadi sekitar tahun 1970-an dan juga adanya reformasi properti pada akhir tahun 1980-an. Pada masa itu, penduduk China sebagian besar memilih untuk berinvestasi dengan instrument properti daripada jenis-jenis instrument lainnya seperti saham. Terfokusnya investasi pada properti kala itu memberikan kejutan bagi pertumbuhan ekonomi China selama 30 tahun terakhir. Puncak nilai properti di China sempat membuatnya menjadi aset terbesar di dunia, yaitu menyentuh angka US$ 60 triliun atau setara dengan Rp934 ribu triliun.

Gambar 3: Hong Kong’s Cage Homes. Source: CBS News

          Sebagai hasilnya, pertumbuhan sektor properti tersebut berimbas pada profitabilitas developers terkemuka seperti Evergrande dan Country Garden pada masanya. Para pengembang melakukan ekspansi besar-besaran selama periode emas tersebut dengan mengandalkan utang. Namun, ketika perekonomian menurun yang menyebabkan penjualan properti anjlok serta pembatasan peminjaman dana oleh pemerintah, para pengembang mulai kesusahan untuk membiayai kembali utangnya. Kesulitan tersebut berdampak pada bangkrutnya pengembang properti China, salah satunya seperti Evergrande yang terpaksa mengalami gagal bayar terhadap utangnya yang melebihi US$ 300 miliar, hingga harus melalui proses kebangkrutan.

Kebangkrutan Evergrande ini tampaknya hanya permulaan dari risiko kebangkrutan raksasa-raksasa properti lainnya. Pada bulan Oktober tahun 2023 yang lalu, developer raksasa Country Garden, mengumumkan peringatan akan ketidakmampuannya dalam memenuhi kewajiban utang luar negerinya. Country Garden juga gagal membayar obligasi yang bernilai Rp7,84 triliun yang sempat dinyatakan oleh forum bank global dan para investor yang mengawasi pasar kredit swap. Bahkan, raksasa properti tersebut telah menerima petisi likuidasi dari Ever Credit Lmited sebagai kreditur yang memberikan fasilitas pinjaman berjangka dengan nilai 1,6 miliar dolar Hong Kong atau setara dengan Rp3,2 triliun. Hal ini tentunya mengancam keberlangsungan raksasa properti tersebut.

Kabar buruk tidak selesai di situ, desas-desus kebangkrutan juga ditanggung raksasa properti lain, seperti Vanke. Perusahaan properti ini merupakan yang terbesar kedua di China berdasarkan penjualan tahun lalu. Vanke yang didirikan oleh Wang Shi, yang terkenal sebagai pelopor dalam industry properti China. Sayangnya, kesulitan juga sedang dialami Vanke yang ditandai dengan menurunnya permintaan apartemen dibarengi dengan jatuhnya harga rumah. Berita yang diliput oleh media pemerintah China mengatakan bahwa 12 bank besar sedang merundingkan pemberian pinjaman sindikasi kepada Vanke sebesar 80 miliar yuan atau setara Rp174 triliun untuk membantu melunasi utangnya. Media lain, seperti Economic Observer, melaporkan bahwa beberapa perusahaan asuransi mengajukan putaran baru negosiai utang untuk menghindari risiko gagal bayar.

Kondisi-kondisi tersebut menggambarkan betapa sulitnya perekonomian China terutama dalam hal sektor properti. Krisis properti yang berkelanjutan ini berdampak sangat signifikan terhadap kehidupan perusahaan-perusahaan raksasa properti. Beberapa perusahaan properti tersebut harus menerima risiko kebangkrutan akibat kesulitan dalam membayar utang yang tidak diantisipasi. Oleh karena itu, perlu pengeksekusian metode yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Nahh Sobat Cuan, seperti itu lah penurunan kinerja sektor properti di China, sangat parah bukan?

Semoga artikel ini bermanfaat yaa!

Nantikan artikel selanjutnya di website https://kspmfebunud.com dan instagram @kspmfebunud.

Salam Cuan! ????

DAFTAR PUSTAKA

(2024, Februari Kamis). Retrieved from CNN Indonesia: 29

Aditiasari, D. (2024, Maret 14). Detikcom. Retrieved from Detik Properti: https://www.detik.com/properti/berita/d-7240987/mengurut-akar-masalah-yang-bikin-krisis-properti-china-jadi-parah

Aprilia, Z. (2024, Januari 30). Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/market/20240130163843-17-510222/ngeri-ini-dampak-jatuhnya-evergrande-ke-ekonomi-global

Arbar, T. F. (2023, Oktober 10). Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20231010172140-4-479473/raksasa-china-mau-bangkrut-lagi-sebut-susah-bayar-utang

Gao, L., & Woo, R. (2024, Januari 17). Retrieved from Reuters: https://www.reuters.com/world/china/chinas-dec-new-home-prices-fall-fastest-pace-since-feb-2015-2024-01-17/

Hoyle, H., & Jain-Chandra, S. (2024, Februari 2). Retrieved from International Monetary Fund: https://www.imf.org/en/News/Articles/2024/02/02/cf-chinas-real-estate-sector-managing-the-medium-term-slowdown

Sorongan, T. P. (2024, Maret 13). Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20240313084501-4-521462/lagi-properti-china-mau-bangkrut-perusahaan-raksasa-punya-godfather

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *